Kemarin malam (9 Januari 2013),
dalam perjalanan pulang dari tempat kerja (di daerah belakang Akpol) ke rumah kontrakan
saya (di daerah Pasar Kapling), saya merasakan ada beberapa serial tema dari
zona-zona yang saya lewati. Diawali dari area campuran permukiman dan
perdagangan-jasa di sepanjang jalan Semeru, lalu area permukiman di daerah Jalan
Sisingamaraja (kalo tidak salah masuh ke area candi Baru), dan area perdagangan
dan jasa dari (pasar kambing sampai dengan ke rumah).
Sempat kehilangan taste, saat harus melakukan justifikasi
di daerah jalan tentara pelajar sampai dengan lokasi rumah, kok hampir semuanya
perdagangan dan jasa semua ya, tapi kok masih ada juga beberapa rumah tinggal.
Saking bingungnya akhirnya saya sebut dengan kawasan campuran (mix used).
- Apakah justifikasi saya
tersebut benar, disebut dengan mixed use ?
- Penggunaan lahan : Mixed
Use itu apa ?
Kalo temen-temen pernah
melewati jalan Sisingamangaraja, temen-temen akan merasakan masuk ke kawasan
permukiman dengan Kapling rumah besar-besar (kalo tidak salah merupakan salah
satu kawasan permukiman lama yang dibangun pada masa kolonial). Pada kawasan
tersebut terdapat beberapa spot untuk area perdagangan dan jasa, ada pasar,
bahkan hotel.
- Apakah itu juga disebut
dengan mixed use ?
Coba kita bandingkan dengan
koriodor jalan tentara pelajar (pasar kambing s/d pasar kapling), yang
sama-sama ada perumahan dan perdagangan dan jasa.
- Apakah itu juga disebut
dengan mixed use juga ?
Mungkin itu sekelumit cerita
untuk membandingkan kawasan yang tumbuh secara unplanned (organis) dan planned
dalam konteks tata guna lahan (land
use). Padahal, konon katanya ni keahlian kita lho sebagai planner : ahlinya
land use planning. He….Saking
‘ahlinya’ sering disebut dengan ilmu spidologi
dan plan no logic, satir memang tapi
itu realita temen-temen. Gak papa kita tidak usah capek-capek klarifikasi, tapi
jawab dengan bukti dengan karya, bener kan…
Seperti kita tahu, land use planning terdiri atas beberapa
pandangan dasar yang jamak digunakan di Indonesia dan Dunia, diantaranya yaitu Single
Use Planning dan Mixed Use Planning.
- Apakah definisi dari dua
aliran land use planning
tersebut ?
- Perbedaan mendasarnya apa ?
Saya pernah mengintepretasi
peta dokumen tata ruang suatu kota, dimana kota tersebut mengarahkan penggunaan
lahan pada kawasan di sisi koridor utama hampir semuanya menjadi area mix used. Saya jadi berfikir, pantesan
ya banyak sekarang kita jumpai pertumbuhan ruko yang menjamur di setiap sisi
jalan-jalan kota. Alih-alih sesuai dengan tata ruang yang menyebutkan sebagai mix used, apakah kondisi ini ideal ya ?.
Menurut saya pribadi, ini
adalah indikasi yang buruk dimana suatu kota akan menuju BUNUH DIRI. Persebaran
kawasan perdagangan yang ‘merata’ diikuti dengan kawasan permukiman yang ‘merata’
juga akan menggiring kota-kota kita kepada suatu kondisi yang disebut dengan environtmental
lack. Dampak yang akan
muncul adalah kehilangan orientasi
pusat pertumbuhan, urban sprawl, kemacetan,
disparitas
densitas kawasan, coverage area ratio tidak
merata, dsb. Transect planning kota-kota tersebut tidak jelas lagi,
mana yang disebut natural area, mana yang disebut urban, mana yang
disebut rural, mana yang disebut CBD, dsb. Polanya menjadi scrable he…he…
Kalo kita ambil benang
merahnya, land use planning di
kawasan perkotaan/kabupaten/kota/provinsi/dst lebih seringnya diramalkan berdasarkan
trend
& Dominasi. Padahal berdasarkan ilmu yang pernah saya dapatkan
di kampus saya tercinta, land use
planning tidak seperti itu. Minimal kita harus melihat land barrying capacity
sehingga kita dapat mendesain penggunaan lahan yang sesuai baik secara fungsi,
kepadatan, maupun ratio ruang terbangunnya.
Berdasarkan pengalaman kerja
saya sebagai kuli di sebuah perusahaan Konsultan Teknis, ada beberapa factor
yang harus dipertimbangkan selain land
barrying capacity, diantaranya adalah negative externalities, transect
planning, , aturan
yang mengikat seperti KKOP untuk penerbangan, daerah hutan lindung,
dsb.
Selain variabel tersebut
diatas, kita juga mendesain land use berdasarkan
penyediaan prasarana. Terdapat dua pola yaitu :
1.
Infrastructure
Led Development
2.
Infrastructure
Follow Development
Dua-duanya bisa diterapkan
tergantung kebutuhan, Kota Batam & SCBD (Sudirman Central Bussiness
District) di Jakarta merupakan contoh kawasan dan kota yang menggunakan konsep Infrastructure Led Development. Pola
penggunaan lahan akan lebih teratur bila kita menggunakan konsep ini, dimana
secara matang sudah kita siapkan land use
planningnya dan infrastruktur sebagai trigger-nya.
Kembali ke topik Mixed Use
Planning (sory agak OoT)…
Menurut pendapat para pakar,
konsep ini sangat tepat untuk diterapkan di kawasan-kawasan yang semakin urbanize. Sehingga dapat meminimalkan pergerakan
eksternal orang dan barang yang berujung kepada kemacetan. Sirkulasi
internal dapat mengalir dengan seminimal mungkin menggunakan
kendaraan, walking time distance menjadi lebih humanis, densitas
kawasan dapat diprediksikan dan diimplementasikan dengan jelas, sehingga
dapat mendukung terciptanya sustainable development dan environtmental
friendly.
Nah, pertanyaannya apakah single used tidak tepat lagi
diimplementasikan sekarang ini?
Kalo temen-temen mengikuti
diskusi minggu kemarin, logikanya dapat mengarah kepada Compact City & TOD (Transit Oriented Development) lho..
bener ndak ?.. CMIIW, he…
Menurut hemat saya, mixed used planning adalah konsep yang
besar, jangan hanya dijadikan jurus terakhir saat kita bingung menentukan pola
ruang kawasan (seperti saya, saat menjustifikasi koridor tentara pelajar, he..).
Analogi sederhana, pendapat
saya korelasi antara mix – single use
planning..
Note :
Tulisan
ini hanya sebatas ide, tidak bermaksud menggurui ataupun meracuni pemikiran
temen-temen. Hanya sebatas ide, that’s all.
sa’onone
Planners
Community
Semoga bermanfaat, tetap semangat, tetap berkarya,
semoga menjadi planner yang punya TASTE
We don’t have more, but we’ll give it all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar