Turki-Brazil kagetkan Barat, Amerika Serikat dan Sekutunya - Pada saat Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva memutuskan pergi ke Teheran untuk menembus kebuntuan program nuklir Iran, maka negara-negara lain khususnya barat mencemoohnya dan menyangka itu hanya sekedar mencari popularitas saja. Nyatanya tidak.
Dari pertemuan 17 Mei tersebut Lula bersama pemimpin Turki menghasilkan kesepakatan dengan Iran. Inti kesepakatan itu relatif sama dengan yang pernah diusulkan mantan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Mohammed ElBaradei. Yaitu berupa kesediaan Iran mengirimkan 1.200 kilogram uranium dengan kadar pengayaan rendah ke Turki. Setelah setahun Iran akan menerima kiriman uranium kadar pengayaan tinggi untuk bahan bakar reaktor nuklir di Teheran. Usulan IAEA dukungan Barat, negara yang ditunjuk untuk menerima ”titipan” uranium Iran antara lain Rusia.
Muncul komentar menihilkan kesepakatan Brasil-Turki-Iran. Namun, AS dan Barat tertampar dengan hasil diplomasi Lula. China dan Rusia, sama-sama anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, menyambut kompromi Iran itu.
Reaksi AS dan Barat bisa ditebak. Kubu ini langsung menyebarkan rancangan resolusi mengenai sanksi-sanksi baru lebih keras terhadap Iran, tidak peduli dengan upaya Brasil dan Turki, sama-sama anggota tidak tetap DK PBB.
Lula, dalam sebuah pidato di Brasilia, ibu kota Brasil, Rabu (19/5), menuduh Barat memiliki sikap ingin menang sendiri soal nuklir Iran.
Hal yang dilakukan Lula menjadi pelajaran diplomasi yang sangat berharga. Sebagai negara yang serius ingin melakukan perubahan di PBB, terutama reformasi DK PBB, terobosan Lula mendukung cita-cita Brasil untuk menjadi anggota tetap DK PBB. Diplomasi Lula juga mencerminkan bagaimana Brasil mengoptimalkan posisinya di DK PBB, berani mengambil risiko berseberangan dengan adidaya tanpa tendensi bermusuhan dengan adidaya.
Peran Rusia
Diplomasi Lula tidak terlepas dari peran Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang mengusulkan pendekatan baru pada pertemuan dengan Lula di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi BRIC (Brasil, Rusia, India, China) April lalu. Medvedev mempertajam misinya dengan berkunjung ke Turki dan Suriah.
Terobosan Medvedev itu, seperti ditulis The Hindu, lolos dari perhatian AS dan Barat yang terlalu sibuk meyakinkan Rusia dan China mengenai resolusi sanksi baru untuk Iran itu.
Melalui diplomasinya, Lula sebenarnya juga hendak menelanjangi sikap curang AS dan sekutunya soal nuklir Iran. Bagi Barat, tujuan mereka hanya satu, jangan sampai Iran menguasai teknologi nuklir. Penegasan Iran bahwa pengembangan teknologi nuklir bertujuan damai tidak bermakna.
Presiden AS Barack Obama menelepon langsung Perdana Menteri Turki Recep Erdogan. Obama mengatakan, kompromi terbaru Teheran itu ”tidak menumbuhkan kepercayaan”.
Lula geram. ”Ada sejumlah orang yang tidak tahu bagaimana berpolitik tanpa musuh,” tegasnya.
Rusia pun memperingatkan, pengenaan sanksi sepihak oleh AS dan sekutunya kepada Iran bertentangan dengan prinsip supremasi hukum internasional.
Pada akhirnya, sebagaimana terjadi dengan Iran, negara yang boleh memanfaatkan teknologi nuklir sangat ditentukan oleh AS dan sekutunya. Rusia dan China menolak itu.
Lula semakin membuka mata dunia atas ketidakadilan Barat. Hal itu menonjolkan ketidakberesan dalam sistem politik internasional. Hadirnya kekuatan pengimbang sangat diperlukan pada saat China dan Rusia sering bimbang untuk berperan sebagai pengimbang.
Namun, dari kesepakatan Brasil-Iran-Turki, kita melihat peran menonjol Rusia. Peran penting Rusia dan China sebagai pengimbang sebenarnya masih bisa dimanfaatkan meski tidak selalu harus dengan terbuka.
Ternyata apa yang selama ini dilakukan oleh barat dengan mengecam, menuduh, dan memberikan sanksi terhadap Iran karena mengembangkan teknologi Nuklir untuk kehancuran dunia atau untuk melawan Amerika Serikat adalah salah besar. Amerika Serikat hanya tidak ingin negara Islam bisa maju.
Bila dilakukan diplomasi secara baik, maka masalah nuklir Iran pun tidak bermasalah dan bahkan bermanfaat bagi semua yang mendukungnya.
Amerika sendiri punya nuklir banyak mengapa negara lain gak boleh.amerika suka invasi negara-negara di dunia bukankah itu membuat kerusakan n tidak pri kemanusiaan
BalasHapusAmerika sendiri punya nuklir banyak mengapa negara lain gak boleh.amerika suka invasi negara-negara di dunia bukankah itu membuat kerusakan n tidak pri kemanusiaan
BalasHapus