"Welcome to Try - Againz, semoga artikel yang ada di sini bermanfaat untuk anda semua"

Kamis, 26 September 2013

Rusunawa Sebagai Salah Satu Upaya Pengeliminasian Fenomena Backlog Hunian & Urban Sprawl Di Perkotaan

Perkotaan merupakan pusat dari segala aktivitas penduduk, baik itu pusat bisnis, pusat perekonomian, maupun pusat pemerintahan.  sehingga, tingkat kepadatan penduduk diperkotaan pun cukup tinggi. hal ini memicu terjadinya permasalahan yang sangat kompleks. salah satu permasalahan yang cukup besar adalah pemenuhan hunian, yang mana kebutuhan (demand) hunian lebih besar daripada persediaan (supply) diperkotaan, sehingga terjadi backlog. Kebutuhan rumah layak huni, setiap tahun bertambah rata-rata 800.000 unit, sementara kemampuan pengadaannya berkisar mulai 100.000 sampai dengan 200.000 unit per tahun dengan, demikian angka backlog  rata-rata sekitar 600.000 unit setiap tahunnya (Perumnas).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2011 angka backlog perumahan Indonesia sebesar 13,6 juta unit, angka tersebut dapat terus bertambah  seiring dengan jumlah penduduk yang  terus meningkat dengan angka pertumbuhan 1,46% per tahun.  Bahkan menurut Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa pada tahun 2050, diperkirakan lebih dari 80% penduduk Indonesia akan hidup diperkotaan.
Pemenuhan kebutuhan rumah berupa rumah tapak (landed housing) di perkotaan, idealnnya kurang tepat untuk jangka panjang. mengigat, ketersediaan lahan di perkotaan yang semakin terbatas, dan akan memicu timbulnya urban sprawl.

Urban sprawl merupakan fenomena perkembangan perkotaan yang tidak terkendali. dari fenomena tersebut secara otomatis akan melahirkan masalah-masalah baru, seperti dari segi pembiayaan sarana dan prasarana perkotaan yang besar, tingkat inefesiensi waktu, penggunaan transportasi, bbm yang tinggi, serta polusi udara yang terus meningkat.  sehingga pembangunan perkotaan lebih terfokus pada penanganan kemacetan, pembangunan sarana dan parasarana penunjang yang memerlukan pembiayaan yang cukup besar. kemudian ditambah lagi dengan banyaknya  berbagai kemudahan untuk memiliki kendaraaan bermotor pribadi, menjadikan permasalahan yang ada semakin besar.

Kota Jakarta, Surabaya dan Makassar salah satu contoh yang memiliki permasalahan-permasalahan tersebut diatas. kemampuan daya tampung kota tersebut semakin hari semakin menipis. permasalahan ini apabila tidak segera diatasi akan menjadi "bom waktu yang nanti nya akan meledak ".


Pembangunan rumah susun (vertical housing) merupakan salah satu solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. selain dapat mengefisienkan penggunaan lahan juga daya tampung penduduknya pun cukup banyak. selain itu, rumah susun  termasuk dalam komponen penunjang kota  kompak (compact city) yang merupakan "obat" dari fenomena Urban Sprawl. Rumah susun adalah bangunan gedung yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional (UU No. 20 tahun 2011).  rumah susun terdiri dari dua jenis yaitu rumah susun sederhana yang disewakan (rusunawa) dan rumah susun sederhana milik (rusunami).  Namun, rusunawa lah yang lebih diproritaskan pembangunan nya karena cukup banyak kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti mahasiswa, pekerja temporer dan lainnya yang ada diperkotaan,  dan rusunami hanya untuk yang lebih mampu. 


Judul tugas kuliah "Seminar Proyek Akhir"
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

by try admajaya

Minggu, 03 Februari 2013

MIXED USE PLANNING


Kemarin malam (9 Januari 2013), dalam perjalanan pulang dari tempat kerja (di daerah belakang Akpol) ke rumah kontrakan saya (di daerah Pasar Kapling), saya merasakan ada beberapa serial tema dari zona-zona yang saya lewati. Diawali dari area campuran permukiman dan perdagangan-jasa di sepanjang jalan Semeru, lalu area permukiman di daerah Jalan Sisingamaraja (kalo tidak salah masuh ke area candi Baru), dan area perdagangan dan jasa dari (pasar kambing sampai dengan ke rumah).
Sempat kehilangan taste, saat harus melakukan justifikasi di daerah jalan tentara pelajar sampai dengan lokasi rumah, kok hampir semuanya perdagangan dan jasa semua ya, tapi kok masih ada juga beberapa rumah tinggal. Saking bingungnya akhirnya saya sebut dengan kawasan campuran (mix used).
  • Apakah justifikasi saya tersebut benar, disebut dengan mixed use ?
  • Penggunaan lahan : Mixed Use itu apa ?
Kalo temen-temen pernah melewati jalan Sisingamangaraja, temen-temen akan merasakan masuk ke kawasan permukiman dengan Kapling rumah besar-besar (kalo tidak salah merupakan salah satu kawasan permukiman lama yang dibangun pada masa kolonial). Pada kawasan tersebut terdapat beberapa spot untuk area perdagangan dan jasa, ada pasar, bahkan hotel.
  • Apakah itu juga disebut dengan mixed use ?
Coba kita bandingkan dengan koriodor jalan tentara pelajar (pasar kambing s/d pasar kapling), yang sama-sama ada perumahan dan perdagangan dan jasa.
  • Apakah itu juga disebut dengan mixed use juga ?

Mungkin itu sekelumit cerita untuk membandingkan kawasan yang tumbuh secara unplanned (organis) dan planned dalam konteks tata guna lahan (land use). Padahal, konon katanya ni keahlian kita lho sebagai planner : ahlinya land use planning. He….Saking ‘ahlinya’ sering disebut dengan ilmu spidologi dan plan no logic, satir memang tapi itu realita temen-temen. Gak papa kita tidak usah capek-capek klarifikasi, tapi jawab dengan bukti dengan karya, bener kan…
Seperti kita tahu, land use planning terdiri atas beberapa pandangan dasar yang jamak digunakan di Indonesia dan Dunia, diantaranya yaitu Single Use Planning dan Mixed Use Planning.
  • Apakah definisi dari dua aliran land use planning tersebut ?
  • Perbedaan mendasarnya apa ?

Saya pernah mengintepretasi peta dokumen tata ruang suatu kota, dimana kota tersebut mengarahkan penggunaan lahan pada kawasan di sisi koridor utama hampir semuanya menjadi area mix used. Saya jadi berfikir, pantesan ya banyak sekarang kita jumpai pertumbuhan ruko yang menjamur di setiap sisi jalan-jalan kota. Alih-alih sesuai dengan tata ruang yang menyebutkan sebagai mix used, apakah kondisi ini ideal ya ?.
Menurut saya pribadi, ini adalah indikasi yang buruk dimana suatu kota akan menuju BUNUH DIRI. Persebaran kawasan perdagangan yang ‘merata’ diikuti dengan kawasan permukiman yang ‘merata’ juga akan menggiring kota-kota kita kepada suatu kondisi yang disebut dengan environtmental lack. Dampak yang akan muncul adalah kehilangan orientasi pusat pertumbuhan, urban sprawl, kemacetan, disparitas densitas kawasan, coverage area ratio tidak merata, dsb. Transect planning kota-kota tersebut tidak jelas lagi, mana yang disebut natural area, mana yang disebut urban, mana yang disebut rural, mana yang disebut CBD, dsb. Polanya menjadi scrable he…he…
Kalo kita ambil benang merahnya, land use planning di kawasan perkotaan/kabupaten/kota/provinsi/dst lebih seringnya diramalkan berdasarkan trend & Dominasi. Padahal berdasarkan ilmu yang pernah saya dapatkan di kampus saya tercinta, land use planning tidak seperti itu. Minimal kita harus melihat land barrying capacity sehingga kita dapat mendesain penggunaan lahan yang sesuai baik secara fungsi, kepadatan, maupun ratio ruang terbangunnya.
Berdasarkan pengalaman kerja saya sebagai kuli di sebuah perusahaan Konsultan Teknis, ada beberapa factor yang harus dipertimbangkan selain land barrying capacity, diantaranya adalah negative externalities, transect planning, , aturan yang mengikat seperti KKOP untuk penerbangan, daerah hutan lindung, dsb.
Selain variabel tersebut diatas, kita juga mendesain land use berdasarkan penyediaan prasarana. Terdapat dua pola yaitu :
1.     Infrastructure Led Development
2.     Infrastructure Follow Development
Dua-duanya bisa diterapkan tergantung kebutuhan, Kota Batam & SCBD (Sudirman Central Bussiness District) di Jakarta merupakan contoh kawasan dan kota yang menggunakan konsep Infrastructure Led Development. Pola penggunaan lahan akan lebih teratur bila kita menggunakan konsep ini, dimana secara matang sudah kita siapkan land use planningnya dan infrastruktur sebagai trigger-nya.

Kembali ke topik Mixed Use Planning (sory agak OoT)…
Menurut pendapat para pakar, konsep ini sangat tepat untuk diterapkan di kawasan-kawasan yang semakin urbanize. Sehingga dapat meminimalkan pergerakan eksternal orang dan barang yang berujung kepada kemacetan. Sirkulasi internal dapat mengalir dengan seminimal mungkin menggunakan kendaraan, walking time distance menjadi lebih humanis, densitas kawasan dapat diprediksikan dan diimplementasikan dengan jelas, sehingga dapat mendukung terciptanya sustainable development dan environtmental friendly.
Nah, pertanyaannya apakah single used tidak tepat lagi diimplementasikan sekarang ini?
Kalo temen-temen mengikuti diskusi minggu kemarin, logikanya dapat mengarah kepada Compact City & TOD (Transit Oriented Development) lho.. bener ndak ?.. CMIIW, he…
Menurut hemat saya, mixed used planning adalah konsep yang besar, jangan hanya dijadikan jurus terakhir saat kita bingung menentukan pola ruang kawasan (seperti saya, saat menjustifikasi koridor tentara pelajar, he..).
Analogi sederhana, pendapat saya korelasi antara mix – single use planning..
 








Note :
Tulisan ini hanya sebatas ide, tidak bermaksud menggurui ataupun meracuni pemikiran temen-temen. Hanya sebatas ide, that’s all.


sa’onone
Planners Community


Semoga bermanfaat, tetap semangat, tetap berkarya, semoga menjadi planner yang punya TASTE
We don’t have more, but we’ll give it all

DENSITAS PENDUDUK SEBAGAI KONTROL TATA RUANG



Tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah penduduk secara gradual beranjak naik tiap tahunnya. Hal ini diindikasikan dengan jumlah natalitas yang lebih tinggi dibanding dengan jumlah mortalitas. Fenomena ini berdampak kepada penggunaan ruang terbangun dan kebutuhuan sarana dan prasarana yang semakin tinggi.
Disparity of density terjadi antara urban dan rural. Diprediksikan pada tahun 2020, 60-70 % penduduk dunia berada di kawasan perkotaan. Padahal luas kawasan perkotaan lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan perdesaan.
§  Apakah kondisi ini tidak ideal ?
Jawab : dilihat dari kepadatan bruto (jiwa/ha) memang luas kawasan perkotaan lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan perdesaan sehingga kondisi ini tidak ideal , namun jika dilihat dari kepadatan netto (jiwa/m3)  yang terjadi sebaliknya dan kondisi seperti ini lebih ideal.  (standar kepadatan netto 1 jiwa = 9 m3) makanya rumah-rumah minimalis sekrang ini minimal dgn tipe 36 untuk 4 org.
§  Apakah kebutuhan lahan untuk mendukung kawasan perkotaan lebih banyak dibanding kawasan perdesaan ?

Untuk menyikapi ratio jumlah penduduk dan kebutuhan lahan yang tinggi di kawasan perkotaan, disusun beberapa konsep pengembangan wilayah diantaranya adalah dengan konsep Compact City. Konsep ini adalah memadukan antara densitas kawasan yang tinggi dengan minimum lahan terbangun atau sebuah antithesis dari pemikiran bahwa semakin banyak penduduk, semakin banyak lahan terbangun yang dibutuhkan.
§  Apakah konsep ini ideal untuk diterapkan di kawasan perkotaan Indonesia ?.
Jawab : tidak, dilihat dari segi ekonomi atau pendanaan belum siap, dan kepimilikan lahan. Namun sebagai planner  konsep ini wajib hukumya  untuk diterapkan secara bertahap.
Suatu pengembangan wilayah tidak dapat lepas dari prinsip ekonomi makro, sebagaimana kita tahu bahwa terdapat beberapa mashab ekonomi dengan pemikiran-pemikiran dasarnya, diantaranya adalah kapitalis, liberalis, sosialis, komunis, dsb. Dengan prinsip ekonomi pancasila, kita mencoba menggabungkan beberapa buah pikir dari mashab ekonomi yang sudah ada.  Saat ini Negara-negara di dunia terbagi menjadi Negara adidaya, Negara berkembang, Negara tertinggal (dunia ke-3) yang ditandai dengan adanya G 7, G 77, dsb.
Global thinking menjadikan jarak, waktu, laut, dsb tidak menjadi masalah, overseas trading berjalan tanpa kendala. Alih-alih free trade sebenarnya merugikan bagi Negara yang hanya sebagai user produk.
§  Dalam klasifikasi apa Indonesia berada?
§  Posisi kita tersebut, apakah dapat mendukung konsep Compact City?
§  Apakah di Indonesia Prasarana dan Sarana dasar dipandang sebagai Public/social Services?
Land tenure di Indonesia sangat bebas, dimana lahan dapat dimiliki, sehingga intervensi pemerintah sangat rendah terhadap penggunaan lahan.
§  Apakah land tenure security tsb dapat mendukung konsep Compact City di Indonesia?

Sebagai penutup, apakah di Indonesia kepadatan penduduk dapat diarahkan di tiap wilayah?. Dan dapatkah kepadatan penduduk menjadi kontrol terhadap tata ruang di Indonesia?.

sa’onone
Planners Community
Note:
Keywords di highlight dengan bold, italic, & underline tolong dicari pengertiannya dan teori pendukungnya, pertanyaan-pertanyaan besok sabtu kita bahas bersama dan coba kita random temen-temen untuk menjawab.
Semoga bermanfaat, tetap semangat, tetap berkarya, semoga menjadi planner yang punya TASTE
We don’t have more, but we’ll give it all